Hati merupakan organ yang menopang kelangsungan
hidup hampir seluruh organ lain di dalam tubuh. Oleh karena lokasi yang sangat
strategis dan fungsi multi-dimensional, hati menjadi sangat rentan terhadap
datangnya berbagai penyakit. Hati akan merespon berbagai penyakit tersebut
dengan meradang, yang disebut hepatitis
Seringkali hepatitis dimulai dengan reaksi radang
patobiokimiawi yang disebut fibrosis hati,[38] dengan simtoma
paraklinis berupa peningkatan rasio plasma
laminin, sebuah glikoprotein
yang disekresi sel
Ito, asam hialuronat dan sejenis aminopeptida yaitu prokolagen tipe
III,[39]
dan CEA.[40] Fibrosis
hati dapat disebabkan oleh rendahnya rasio plasma HGF,[41][42] atau
karena infeksi viral, seperti hepatitis B, patogen yang disebabkan oleh infeksi akut
sejenis virus
DNA yang memiliki fokus infeksi berupa templat transkripsi
yang disebut cccDNA yang termetilasi,[43] atau hepatitis C,
patogen serupa hepatitis B yang disebabkan oleh infeksi virus RNA dengan fokus infeksi
berupa metilasi
DNA, terutama melalui mekanisme ekspresi
genetik berkas GADD45B, sehingga
mengakibatkan siklus sel hepatosit menjadi tersendat-sendat.[44][45]
Fibrosis hati memerlukan penangan sedini mungkin,
seperti pada model tikus,
stimulasi proliferasi hepatosit akan meluruhkan fokus infeksi virus hepatitis
B,[46]
sebelum berkembang menjadi sirosis hati atau karsinoma
hepatoselular. Setelah terjadi kanker hati, senyawa
siklosporina
yang memiliki potensi untuk memicu proliferasi hepatosit, justru akan mempercepat
perkembangan sel kanker,[47] oleh
karena sel kanker mengalami hiperplasia hepatik, yaitu
proliferasi yang tidak disertai aktivasi faktor transkripsi genetik. Hal ini dapat
diinduksi dengan stimulasi timbal nitrat (LN, 100 mikromol/kg), siproteron
asetat (CPA, 60 mg/kg), dan nafenopin (NAF, 200 mg/kg).[48]
Hepatitis juga dapat dimulai dengan defisiensi mitokondria
di dalam hepatosit,
yang disebut steatohepatitis. Disfungsi
mitokondria akan berdampak pada homeostasis
senyawa lipid dan
peningkatan rasio spesi oksigen reaktif yang menginduksi TNF-α.[49]
Hal ini akan berlanjut pada pengendapan lemak, stres
oksidatif dan peroksidasi lipid,[50]
serta membuat mitokondria menjadi rentan terhadap kematian oleh nekrosis akibat rendahnya rasio ATP dalam matrik mitokondria, atau oleh apoptosis
melalui pembentukan apoptosom dan peningkatan permeabilitas membran
mitokondria dengan mekanisme Fas/TNF-α. Permintaan energi yang tinggi
pada kondisi ini menyebabkan mitokondria tidak dapat memulihkan cadangan ATP hingga dapat memicu sirosis
hati,[50]
sedangkan peroksidasi lipid akan menyebabkan kerusakan pada DNA mitokondria dan
membran mitokondria sisi dalam yang disebut sardiolipin, dengan
peningkatan laju oksidasi-beta asam lemak, akan terjadi akumulasi elektron pada respiratory
chain kompleks I dan III yang menurunkan kadar antioksidan.[49]
Sel hepatosit apoptotik akan dicerna oleh sel Ito menjadi
fibrinogen
dengan reaksi fibrogenesis setelah
diaktivasi oleh produk dari peroksidasi lipid dan rasio leptin yang tinggi.
Apoptosis kronis kemudian dijompensasi dengan peningkatan laju proliferasi
hepatosit, disertai DNA
yang rusak oleh disfungsi mitokondria, dan menyebabkan mutasi genetik dan
kanker.
Pada model tikus, melatonin
merupakan senyawa yang menurunkan fibrosis
hati,[51]
sedang pada model kelinci,
kurkumin
merupakan senyawa organik yang menurunkan paraklinis
steatohepatitis,[52]
sedang hormon serotonin[53] dan
kurangnya asupan metionina dan kolina[54] memberikan
efek sebaliknya dengan resistansi adiponektin.[55]
Disfungsi mitokondria juga ditemukan pada seluruh
patogenesis
hati, dari kasus radang hingga kanker dan transplantasi.[56] Pada kolestasis kronik, asam ursodeoksikolat bersama dengan GSH
bersinergis sebagai antioksidan yang melindungi sardiolipin dan fosfatidil serina hingga
mencegah terjadinya sirosis hati.[57]
Pengaruh alkohol
Alkohol dikenal memiliki fungsi immunosupresif
terhadap sistem kekebalan tubuh, termasuk meredam
ekspresi kluster diferensiasi CD4+ dan CD8+ yang diperlukan dalam
pertahanan hati terhadap infeksi viral, terutama HCV.[58] Alkohol
juga meredam rasio kemokina IFN pada lintasan transduksi sinyal selular, selain
meningkatkan resiko terjadinya fibrosis.[59]
Banyak lintasan metabolisme memberikan kontribusi
terhadap alkohol untuk menginduksi stres
oksidatif.[60]
Salah satu lintasan metabolisme yang sering diaktivasi oleh etanol adalah
induksi enzim sitokrom P450 2E1. Enzim ini menimbulkan spesi oksigen reaktif seperti radikal anion
superoksida dan hidrogen peroksida, serta mengaktivasi subtrat
toksik termasuk etanol menjadi produk yang lebih reaktif dan toksik. Sel
dendritik tampaknya merupakan sel yang paling terpengaruh oleh kandungan etanol di dalam
alkohol. Pada percobaan menggunakan model tikus, etanol
meningkatkan rasio plasma IL-1β,
IL-6,
IL-8,
TNF-α, AST, ALT, ADH, γ-GT, TG, MDA dan meredam rasio IL-10,
GSH,[61] faktor transkripsi NF-κB dan AP-1.[62]
Pengaruh alkaloid
Kopi, salah satu kompleks senyawa
alkaloid
dari golongan purina
xantina dengan
asam
klorogenat dan lignan,[63]
pada studi epidemiologis, disimpulkan sebagai salah satu faktor penurun risiko
terjadinya diabetes mellitus tipe 2,[64][65] penyakit Parkinson, sirosis
hati dan karsinoma hepatoselular,[66]
dan perbaikan toleransi glukosa.[63]
Konsumsi kopi secara kronis terbukti tidak menyebabkan tekanan darah tinggi namun secara akut
mengakibatkan peningkatan tekanan darah sementara dalam selang waktu singkat,[67] dan plasma
homosisteina[66]
sehingga dapat menjadi ancaman bagi penderita gangguan kardiovaskular.[64]
Konsumsi kopi secara teratur dapat menurunkan
rasio enzim ALT serta aktifitas enzimatik pada lintasan
metabolisme hati,[68]
yang sering disebabkan oleh[69] infeksi
viral, induksi obat-obatan, keracunan, kondisi iskemik, steatosis (akibat alkohol,
diabetes, obesitas), penyakit otoimun,[70] dan resistansi insulin, sindrom metabolisme,[71] dan
kelebihan zat besi.[72]
Selain ALT, kopi juga menurunkan enzim hati yang lain, yaitu gamma-GT dan alkalina fosfatase.[73] dan
memberikan efek antioksidan dan detoksifikasi fasa II oleh karena senyawa diterpena, kafestol dan kahweol,[74] sehingga
mencegah terjadinya proses karsinogenesis.[75][76] Proses
tersebut disertai dengan gamma-GT sebagai indikator utama.[77]
Transplantasi hati
Teknologi transplantasi hati merupakan hasil yang
dikembangkan dari penelitian pada beberapa bidang studi kedokteran. Pada tahun
1953, Billingham, Brent, dan Medawar menemukan bahwa toleransi
kimerisme[78]
dapat diinduksi oleh infus sel hematolimfopoietik
donor pada model tikus.[79]
Pada tahun 1958 studi canine mengembangkan
suatu teori mengenai molekul hepatotrofik pada portal pembuluh
balik pada hati dan menemukan hormon insulin sebagai faktor hepatotrofik utama dari beberapa
faktor lain yang ada.[80]
Pada saat yang hampir bersamaan teori mengenai transplantasi multiviseral dan
hati juga berkembang dari studi imunosupresi yang mempelajari
algoritma empiris dari pengenalan pola dan respon terapis. Pada awal 1960,
dibuktikan bahwa canine dan allograft manusia memiliki toleransi
kimersime yang dapat terinduksi otomatis dengan bantuan imunosupresi, hingga
pada akhir 1962 disimpulkan dengan keliru, bahwa transplantasi melibatkan dua sistem
kekebalan yang berbeda. Konsekuensi kesimpulan tersebut menjadi dogma bahwa tolerogenisitas hati, pada
dasarnya, berbeda, tidak hanya dengan sumsum tulang belakang, tetapi dengan
seluruh organ tubuh yang lain.[79]
Kekeliruan ini tidak terkoreksi dengan baik hingga tahun 1990.[78]
Transplantasi hati yang pertama dilakukan di Denver pada tahun
1963,[81]
keberhasilan pertama tercatat pada tahun 1967 dengan azatioprina, prednison dan globulin anti-limfoid, oleh Thomas E. Starzl dari Amerika
Serikat, disusul oleh keberhasilan transplantasi sumsum tulang belakang
manusia pada tahun 1968.[78]
Rentang waktu antara 1967 hingga 1979 mencatat 84 kali transplantasi hati pada
anak dengan 30% daya tahan hidup hingga 2 tahun.[81]
Perkembangan studi imunosupresi kemudian
memberikan perbaikan dan harapan hidup lebih panjang bagi pasien, antara lain
dengan pergantian azatioprina dengan siklosporina
pada tahun 1979, lalu tergantikan dengan takrolimus
pada tahun 1989.[80]
Pada tahun 1992, dikembangkan teori mikrokimerisme
leukosit donor[82]
dengan cakupan donor dari silsilah berlainan, yang memberikan harapan hidup
yang sangat panjang bagi penerima donor organ, setelah diketahui hubungan
antara aspek imunologis dari transplantasi, infeksi,
toleransi oleh sumsum tulang belakang, neoplasma dan kelainan otoimun,
yang disebut sebagai mekanisme seminal.
Respon kekebalan dan toleransi kekebalan antara organ donor dan tubuh ditemukan
merupakan fungsi dari migrasi dan lokalisasi leukosit.[79]
Salah satu temuan adalah aktivasi sistem kekebalan turunan oleh sel NK dan interferon-γ
segera setelah transplantasi selesai dilakukan.[83] Pada model
tikus, sel
hepatosit donor ditemukan bersifat sangat antigenik
sehingga memicu respon penolakan, yang dapat dilakukan secara mandiri atau
bersama-sama antara sel T CD4 dan sel T CD8.[84]
Untuk itu diperlukan terapi imunosupresif
yang intensif sebelum transplantasi dilakukan, yang disebut preparative regimen
atau conditioning untuk mencegah penolakan organ donor oleh sistem
kekebalan inang.[85] Terapi imunosupresif
tersebut ditujukan untuk menekan sel T dan sel NK inang guna memberikan ruang di dalam sumsum tulang belakang untuk transplantasi
sel punca hematopoietik dari organ donor melalui terapi mielosupresif,
untuk keseimbangan repopulasi sel donor dengan sel hasil diferensiasi dari sel
punca inang.
Dewasa ini, transplantasi hati dilakukan hanya
pada saat hati telah memasuki jenjang akhir suatu penyakit, atau telah terjadi
disfungsi akut yang disebut fulminant hepatic failure. Kasus
transplantasi hati pada manusia umumnya disebabkan oleh sirosis
hati akibat dari hepatitis C kronis, ketergantungan alkohol, hepatitis
otoimun dll.
Teknik umum yang digunakan adalah transplantasi
ortotopik, yaitu penempatan organ donor pada posisi anatomik yang sama
dengan posisi awal organ sebelumnya. Transplantasi hati berpotensi dapat
diterapkan, hanya jika penerima organ donor tidak memiliki kondisi lain yang
memberatkan, seperti kanker metastatis di luar organ hati,
ketergantungan pada obat-obatan atau alkohol. Beberapa ahli berpedoman pada kriteria Milan untuk
seleksi pasien transplantasi hati.
Organ donor, disebut allograft, biasanya
berasal dari manusia lain yang baru saja meninggal dunia akibat cedera otak
traumatik (kadaverik). Teknik transplantasi lain menggunakan organ manusia yang
masih hidup, operasi hepatektomi mengangkat 20% hati pada segmen Coinaud 2 dan
3 dari orang dewasa untuk didonorkan kepada seorang anak, pada tahun 1989.
by : Ersty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar